Pada awal tahun 2024, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, memberikan penilaian positif terkait penetapan pajak dan cukai atas rokok elektrik oleh pemerintah. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 143/PMK/2023 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2024, pemerintah menetapkan tarif sebesar 10 persen dan 15 persen untuk pajak dan cukai rokok elektrik.
Baca juga : PlayStation Store Beri Kalian Diskon untuk Program Berlangganan PlayStation Plus!
Fajry menganggap kebijakan ini sebagai langkah yang tepat untuk menciptakan “equal playing field” di industri rokok. Menurutnya, karena rokok konvensional sudah dikenakan pajak sebelumnya, seharusnya rokok elektrik juga ikut dikenakan pajak. Namun, Fajry juga mencatat bahwa implementasi pajak rokok elektrik seharusnya dilakukan lebih awal.
“Seharusnya, ketika dikenakan cukai rokok, pajak rokok elektrik dikenakan namun pemerintah baru mengenakannya sekarang,” ujar Fajry di Jakarta seperti dilansir dari ANTARA pada Senin (8/1/2024).
Adil dan Optimal: Pembanding Tarif Cukai Rokok Elektrik dan Tembakau
Pemerintah memutuskan untuk menjaga tarif cukai hasil tembakau (CHT) serta pajak rokok tembakau tetap sebesar 10 persen hingga tahun 2024, sesuai dengan PMK No 191 Tahun 2022. Fajry menilai bahwa penetapan tarif lebih tinggi untuk rokok elektrik dibandingkan rokok tembakau adalah langkah yang adil, terutama mengingat harga rata-rata rokok elektrik yang relatif murah.
Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), turut menegaskan bahwa penetapan tarif tersebut sudah tepat. Menurutnya, hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan aspek pengendalian konsumsi dan penerimaan negara melalui cukai.
“Dengan demikian, diharapkan konsumsi masyarakat atas rokok menjadi turun atau dapat lebih dikendalikan,” ungkap Prianto.
Inklusif dan Keterlibatan Stakeholder
Meski mendukung penetapan tarif pajak rokok elektrik, Fajry menekankan pentingnya keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam merumuskan kebijakan. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam melibatkan asosiasi dan pihak terkait agar kebijakan yang diambil mendapat dukungan dan menghindari penolakan di masyarakat.
“Hanya saja, seharusnya pemerintah mengajak stakeholder seperti asosiasi dalam merumuskan kebijakan agar tidak ada penolakan atau menjadi gaduh di publik,” jelas Fajry.
Tujuan Lebih dari Penerimaan Negara: Keadilan dalam Level Playing Field
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Luky Alfirman, menjelaskan bahwa penerapan pajak rokok elektrik lebih menekankan pada tujuan memberikan keadilan daripada soal penerimaan negara. Dalam konferensi pers Kinerja dan Realisasi APBN 2023, Luky menyatakan bahwa penerimaan cukai rokok elektrik pada 2023 hanya menyumbang sekitar 1 persen dari total penerimaan CHT dalam setahun, yakni sebesar Rp1,75 triliun.
“Pertimbangan utama dari penerapan pajak rokok elektrik itu bukan dari aspek penerimaan, tetapi lebih soal memberikan keadilan atau level of playing field,” jelas Luky.
Baca juga : Gaya Hidup Modern: Dampak Zaman dan Globalisasi
Pengenaan pajak rokok elektrik diharapkan dapat menciptakan kondisi persaingan yang adil antara rokok konvensional dan rokok elektrik, seiring dengan tujuan pengendalian konsumsi dan dampak negatifnya. Meski penerimaan negara menjadi faktor sekunder, kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan regulasi yang mendukung industri rokok yang sehat dan berkelanjutan